
Dari sana saya langsung mengingat. Kembali ke 4 tahun lalu.
Ketika saat itu sekolah saya memberitahukan bahwa pengumuman hasil ujian
nasional akan diberikan lewat POS. ada spekulasi yang berkembang saat itu
diantara saya dan teman-teman. “Apabila ketika malam hari ada guru atau pihak
sekolah yang datang kerumah, itu artinya lo nggak dinyatakan lulus ujian.”
Begitu kira-kira bunyi SMS yang saya terima. Ada kaabr lain yang menyebutkan:
kalo sebelum jam 10 pak pos datang itu
artinya lo nggak lulus juga.
Walau merasa optimis, tapi keraguan tidak luput menyelimuti
saya saat itu. Yaa kabar apapun akan saya terima. Yang saya takutkan adalah
ketika saya menerima amplop yang didalamnya tertera isi “ANDA TIDAK LULUS UJIAN
NASIONAL” adalah banyak teman saya yang akan mengalami hasil yang sama.
Pasti bertanya. Kok bisa? Yaa saya mau membuat pengakuan.
Ujian yang saya lakukan 3 hari itu tidaklah murni hasil pemikiran saya. That’s
right! Saya menggunakan bocoran. Saya tidak takut untuk mengakui bahwa saya
menggunakan bocoran kala ujian. Udah jadi hal yang lumrah juga.

Ketika hari pengumuman tiba, saya sempat dikerjai oleh pak
pos yang kebetulan dekat dengan keluarga saya. Beliau sengaja mengantarkan
hasil ujian saya keesokan sorenya. Selama menunggu saya panic bukan main. Untung
teman saya yang rumahnya dekat sekolah mengatakan bahwa saya lulus.
Dari kebodohan saya dengan menyebarkan jawaban saya sendiri
adalah, beberapa teman ada yang nilainya sama persis dengan saya. Pasti nih
orang beneran 100% berharap sama bocoran saya tersebut. Untung saja hasil saya
memuaskan. Coba kalau tidak. Akan ada banyak yang bernasib sama persis.
Diantara kegembiraan tersebut, ada pula beberapa teman dari
sekolah sendiri yang memiliki nasib tidak seberuntung saya. Ketika saya tahu
diantara teman yang tidak lulus tersebut ada seorang teman yang kalau diilihat
dari akademisnya dia termasuk anak pintar. Sebut saja namanya Jane (bosen
abisnya kalo nyebut nama orang mawar. Kasian kan yang namanya mawar,RED). Jane
tidak lulus karena dia sangat percaya diri dan menolah bocoran yang teman-teman
lain gunakan. Sialnya saat UN tersebut, kondisi fisik jane tidak baik.
Yaa saya sadar. Bisa lulus Ujian Nasional itu rasanya sangat
melegakan. Bagaimana tidak, sekolah yang kita jalani selama 3 tahun
keberhasilannya hanya dinilai dalam waktu kurang dari 1 minggu. Cuma di negeri
tercinta Indonesia yang bisa seperti ini. Lihat saja teman saya Jane. Karena
kondisi fisiknya yang sedang tidak baik dia harus menelan pengalaman pahit
tersebut.
Pasrah! Itu adalah hal yang bisa dilakukan. Ketika ujian
nasional masih menjadi parameter tingkat kelulusan seseorang, pasrah yang bisa
dilakukan.
Setahun setelah ujian saya yaitu pada tahun 2009. Sekelompok
orang mencoba menuntut ujian nasional yang dinilai subyektif dalam menilai
kelulusan seseorang berhasil memenagkan gugatan yang dilayangkan ke mahkamah
konstitusi. Tapi tahun berikutnya UN masih tetap dijadikan paramerter
kelulusan.
Pertanyaan saya, sampai kapan mau seperti ini? Mau
terus-terusan membuat orang tidak percaya diri dengan kemampuannya dalam
menjawab soal dan mengandalkan bocoran?
Yaa semoga pertanyaan saya tersebut segera mendapatkan
jawabannya agar tidak lagi memakan korban.
Saya jadi penasaran, Bagaimana kalau nasib buruk yang
menimpa teman saya tersebut dan jutaan orang yang bernasib sama menimpa anak
atau saudara dari pembuat kebijakan tersbut? Apa iya jawabannya akan pasrah
juga?
0 komentar:
Posting Komentar