Pages

Subscribe:

Mengenai Saya

Foto saya
siapa? listianto legowo manusia biasa yang berharap di culik sama alien pluto

Pengikut

Sabtu, 02 Juni 2012

Ujian (fucking) Nasional


Pagi ini timeline twitter saya dipadati dengan kegembiraan teman-teman yang mendapatkan kabar kalau mereka lulus Ujian Nasional. Rasa bahagia menyelimuti mereka semua.
Dari sana saya langsung mengingat. Kembali ke 4 tahun lalu. Ketika saat itu sekolah saya memberitahukan bahwa pengumuman hasil ujian nasional akan diberikan lewat POS. ada spekulasi yang berkembang saat itu diantara saya dan teman-teman. “Apabila ketika malam hari ada guru atau pihak sekolah yang datang kerumah, itu artinya lo nggak dinyatakan lulus ujian.” Begitu kira-kira bunyi SMS yang saya terima. Ada kaabr lain yang menyebutkan: kalo  sebelum jam 10 pak pos datang itu artinya lo nggak lulus juga.
Walau merasa optimis, tapi keraguan tidak luput menyelimuti saya saat itu. Yaa kabar apapun akan saya terima. Yang saya takutkan adalah ketika saya menerima amplop yang didalamnya tertera isi “ANDA TIDAK LULUS UJIAN NASIONAL” adalah banyak teman saya yang akan mengalami hasil yang sama.
Pasti bertanya. Kok bisa? Yaa saya mau membuat pengakuan. Ujian yang saya lakukan 3 hari itu tidaklah murni hasil pemikiran saya. That’s right! Saya menggunakan bocoran. Saya tidak takut untuk mengakui bahwa saya menggunakan bocoran kala ujian. Udah jadi hal yang lumrah juga.
 Balik ke ketakutan tadi. Di kelas saya tersebut, posisi duduk saya yang saat itu ada di belakang pojok merupakan tempat yang sangat strategis. Alhasil saya menjadi koordiator bocoran dikelas. Dari apa yang saya dapat memang tak lantas saya pergunakan begitu saja. Saya masih memiliki rasa percaya diri yang cukup tinggi. Ketika bocoran tersebut masuk melalui pesan singkat di ponsel yang saya selundupkan di kaoskaki sebelah kiri. Dengan menjadi posisi sebagai coordinator kelas, sudah menjadi tanggung jawab saya untuk menyebarkan jawaban tersebut keteman-teman saya. Namun bodohnya yang saya sebarkan adalah jawaban dari hasil ujian saya bukan dari bocoran tersebut.
Ketika hari pengumuman tiba, saya sempat dikerjai oleh pak pos yang kebetulan dekat dengan keluarga saya. Beliau sengaja mengantarkan hasil ujian saya keesokan sorenya. Selama menunggu saya panic bukan main. Untung teman saya yang rumahnya dekat sekolah mengatakan bahwa saya lulus.
Dari kebodohan saya dengan menyebarkan jawaban saya sendiri adalah, beberapa teman ada yang nilainya sama persis dengan saya. Pasti nih orang beneran 100% berharap sama bocoran saya tersebut. Untung saja hasil saya memuaskan. Coba kalau tidak. Akan ada banyak yang bernasib sama persis.
Diantara kegembiraan tersebut, ada pula beberapa teman dari sekolah sendiri yang memiliki nasib tidak seberuntung saya. Ketika saya tahu diantara teman yang tidak lulus tersebut ada seorang teman yang kalau diilihat dari akademisnya dia termasuk anak pintar. Sebut saja namanya Jane (bosen abisnya kalo nyebut nama orang mawar. Kasian kan yang namanya mawar,RED). Jane tidak lulus karena dia sangat percaya diri dan menolah bocoran yang teman-teman lain gunakan. Sialnya saat UN tersebut, kondisi fisik jane tidak baik.
Yaa saya sadar. Bisa lulus Ujian Nasional itu rasanya sangat melegakan. Bagaimana tidak, sekolah yang kita jalani selama 3 tahun keberhasilannya hanya dinilai dalam waktu kurang dari 1 minggu. Cuma di negeri tercinta Indonesia yang bisa seperti ini. Lihat saja teman saya Jane. Karena kondisi fisiknya yang sedang tidak baik dia harus menelan pengalaman pahit tersebut.
Pasrah! Itu adalah hal yang bisa dilakukan. Ketika ujian nasional masih menjadi parameter tingkat kelulusan seseorang, pasrah yang bisa dilakukan.
Setahun setelah ujian saya yaitu pada tahun 2009. Sekelompok orang mencoba menuntut ujian nasional yang dinilai subyektif dalam menilai kelulusan seseorang berhasil memenagkan gugatan yang dilayangkan ke mahkamah konstitusi. Tapi tahun berikutnya UN masih tetap dijadikan paramerter kelulusan.
Pertanyaan saya, sampai kapan mau seperti ini? Mau terus-terusan membuat orang tidak percaya diri dengan kemampuannya dalam menjawab soal dan mengandalkan bocoran?
Yaa semoga pertanyaan saya tersebut segera mendapatkan jawabannya agar tidak lagi memakan korban.
Saya jadi penasaran, Bagaimana kalau nasib buruk yang menimpa teman saya tersebut dan jutaan orang yang bernasib sama menimpa anak atau saudara dari pembuat kebijakan tersbut? Apa iya jawabannya akan pasrah juga?

0 komentar:

Posting Komentar